Review: Wild Nothing - Life of Pause (2016)

7:11:00 PM



“Maaaaaang! Mang Didiiiiiii!” Teriak Nadia di halaman belakang. Mang Didi, supir ayahnya sedang santai di kamarnya di bangunan belakang karena Ayah dan Ibu Nadia sedang pergi ke Jakarta. Mang Didi yang berumur sekitar 30-40 tahunan pun datang sambil sedikit berlari.
“Iya ada apa, Neng?” Tanya Mang Didi.
“Ini, Mang, tolong bantuin angkut meja ini ya ke gazebo. Sama ini nanti simpe diatasnya,” Nadia menunjuk sebuah pemutar piringan hitam. “Aku mau ngambil barang lainnya dulu ke kamar.”
“Oh. Siap, Neng. Mang angkatin.” Jawab Mang Didi sambil mengangkat meja.
Nadia pun pergi ke kamarnya di lantai dua dan mengambil satu tumpukan piringan hitam. Beberapa diantaranya masih dibungkus plastik. Baru saja datang tadi pagi diantar pegawai JNE. Saat Nadia turun, meja dan piringan hitam telah Mang Didi angkut ke gazebo yang berada di pinggir kolam renang.
“Makasih ya, Mang.”
“Iya, sama-sama Neng. Ini piringan hitam gini ngingetin Mang sama pas Mang masih muda,” Ujar Mang Didi sambil tertawa. “Mang juga dulu sering beli tuh piringan hitam.”
“Oh iya, Mang? Dulu sering dengerin apa?” Tanya Nadia antusias.
“Banyak, Neng. David BowiePink FloydTelevision sampai The Cure mah Mang dengerin. Piringan hitamnya masih ada tuh di rumah Mang di Ujungberung. Mau ga piringan hitamnya? Mang udah enggak punya pemutarnya soalnya.”
“Wah! Mau dong, Mang. Nanti bawain ya!” Jawab Nadia menjadi lebih antusias.
“Siap!”
Nadia pun memasang pemutar piringan hitam ke speaker. Salah satu piringan hitam yang masih dibungkus plastik Nadia buka. Itu adalah piringan hitam Wild Nothing album Life of Pause yang Nadia order beberapa waktu lalu. Kemudian Nadia memainkan piringan hitam tersebut. Lagu pertama, ‘Reichpop’ pun mulai mengalun.
“Itu Wild Nothing ya, Neng?” Tanya Mang Didi yang masih berdiri memperhatikan Nadia.
“Iya, Mang. Kok Mang tahu?”
“Tau dong. Sering nonton di Youtube. Album-album yang lainnya juga Mang punya di HP.”
“Si Mang teryata supir hipster ya. Hihihi.” Nadia tertawa. “Gimana nih menurut Mang album barunya?”
“Lagu yang ini lumayan menarik sih. Penggunaan marimba bikin Wild Nothing jadi lebih organik dan ceria. Dan memang Mang merasa ada pendekatan baru yang dilakuin Jack Tatum dalam proses pembuatan lagunya.” Jelas Mang Didi.
“Iya sih, Mang. sound-nya memang jadi lebih organik dan lebih banyak menggunakan instrumentasi analog.”
“Nah ini dari intro-nya sih enak, Neng.” Ujar Mang Didi saat lagu ‘Japanese Alice’ dimulai. Saat lagu hampir berakhir, Mang Didi menambahkan, “Gitar psych pop-nya kerasa banget. Ngingetin sama band-band jangly pop Inggris tahun 90-an.”
“Lagu ini juga enak nih,” Ujar Nadia mengomentari lagu ‘Life of Pause’. “Intro-nya mirip Neon Indian di era-era awal mereka.”
Satu persatu lagu terus mengalun saat Nadia dan Mang Didi terus mengobrol perihal album ini. Nadia menyalakan rokoknya. Di rumah memang sedang tidak ada siapa-siapa hingga Nadia berani merokok di rumah. Sebelumnya, Mang Didi memang sudah tahu Nadia merokok.
Saat lagu ‘TV Queen’ mengalun, Nadia dan Mang Didi ikut menggerak-gerakan badannya.
“Ini nih, sejauh ini yang paling enak ini kayaknya, Mang. Nafas-nafas Wild Nothing di era Gemini sama Nocturne-nya masih kerasa.” Ujar Nadia sambil masih menggerak-gerakan badannya sampai lagu berhenti dan lagu selanjutnya, ‘Whenever I’ dimulai.
“Nah, lagu paling enak menurut Mang sih ini, Neng. Ada aura Italo Disco disini yang dibawa suara saxophone dan synth-nya. Daritadi Mang denger, memang sepertinya Jack Tatum sedang banyak mendengarkan musik soul, 80’s disco hingga funk pas bikin lagu ini.”
“Wah iya. Enak juga ya lagu ini.” Nadia mengamini.
Akhirnya setelah lagu terakhir yang berjudul ‘Love Underneath My Thumb’ mengalun, album Life of Pause ini pun usai. Sambil menyalakan rokok kreteknya, Mang Didi mencoba mengomentari keseluruhan album ini.
“Menurut Mang. Album ini memang sesuatu yang baru buat perjalanan musikal Wild Nothing. Gaya bermusik mereka –atau disini, gaya bermusik Jack Tatum, jadi berbeda. Tapi juga, secara keseluruhan, musik di album ini tidak baru-baru amat. Semuanya masih serba familiar dengan album-album sebelumnya. Terus apa lagi ya…,” Ucap Mang Didi sambil terlihat sedang berpikir.
“Monoton, Mang. Album ini terasa monoton dari awal sampai akhir. Mood yang coba mereka sampaikan juga entah apa. Benar kata Mang, secara instrumentasi dan juga warna musiknya memang berubah, tapi semuanya masih bisa ditebak arahnya mau kemana. Jangan berbicara soal lirik lah, semua juga tahu kalau Jack Tatum lebih mementingkan sound daripada lirik. Tapi ini yang kemudian jadi pertanyaan: sound yang dia coba pentingkan pun ternyata tidak begitu… menarik. Album ini dari awal sampai akhir, meskipun ada beberapa yang memang enak, tapi, lempeng. Tidak ada klimaksnya.”
“Nah itu. Setuju sama Neng Nadia. Tidak ada klimaksnya. Lempeng-lempeng aja. Hmm. Kalau Mang kasih rating, 6.3/10 deh. Poin plus buat cover album-nya.” Ujar Mang Didi sambil memperhatikan cover album Life of Pause.
“Tiiiid… Tiiiid…” Terdengar suara klakson mobil dari gerbang depan. Ayah dan Ibu Nadia pulang. Nadia bergegas mematikan rokoknya sedang Mang Didi bergegas membukakan gerbang.
wildnothingnewcvr1400-1-640x640

You Might Also Like

0 comments

Subscribe