Review: Hinds - Leave Me Alone (2016)

8:45:00 PM

“Saya mulai mendengarkan Hinds saat mereka masih bernama Deers. Kira-kira 2-3 tahun yang lalu. Mereka baru saja merilis demo yang berisi dua lagu: ‘Bamboo’ dan ‘Trippy Gum’,” Jelas Pak Arifin di depan kelas. Mahasiswa-mahasiswanya memperhatikan dengan seksama. Pak Arifin melanjutkan, “Jelas ada pendewasaan dari musik mereka selama beberapa tahun tersebut hingga akhirnya awal tahun ini mereka merilis debut album pertamanya, Leave Me Alone. Ada yang bisa menjelaskan dimana letak pendewasaan mereka?”
Salah satu mahasiswanya mengacungkan tangan.
“Ya, Bella?”
“Dari progresi chord-nya, Pak. Di dua mini album demo mereka, mereka memainkan chord-chord simpel yang disisi lain memang mematikan. Mereka juga mengaku bahwa mereka permainan mereka tidak begitu baik pada saat itu. Dan mereka membuktikan bahwa selama beberapa tahun ini mereka telah berhasil belajar, atau katakanlah, menyempurnakan permainan gitar mereka. Buktinya ada di debut album mereka ini.” Ujar Bella sambil kemudian kembali duduk di kursinya.
hinds_leavemealone“Ya. Salah satunya adalah itu. Saya setuju bahwa permainan gitar mereka telah membaik sekarang. Meskipun sepertinya permainan gitar simpel mereka telah menjadi ciri khas dari Hinds yang tidak bisa mereka hilangkan. Ada yang ingin menambahkan?” Tanya Pak Arifin.
Mahasiswa lainnya yang duduk di belakang mengacungkan tangannya.
“Silahkan, Arman.”
“Permainan bass Ade Martin, Pak. Sekarang dia mendapat porsi yang lebih dari sebelumnya. Sulit untuk tidak menikmati betotan bass Ade di album ini. Apalagi di lagu ‘Fat Calmed Kiddos’. Meskipun lagu ini memang sudah menarik, tapi tanpa permainan bass Ade yang sempurna ini, lagu ini akan terasa kurang.” Arman menjelaskan.
“Ya. Bass. Permainan bass di album ini mendapatkan porsi sound yang sama dengan gitar dari segi mixing. Memang sulit untuk menikmati album ini tanpa memperhatikan suara bass-nya. Ada yang ingin berkomentar soal perpaduan vokal Anna dan Carlotta disini?”
Mahasiswanya yang duduk paling depan, Sabrina, mengacungkan tangannya dan langsung berbicara.
“Saya setuju dengan Bella dan Arman yang menjelaskan bahwa permainan gitar dan bass di album ini memang menarik. Tapi, perpaduan vokal Anna dan Carlotta yang di beberapa bagian saling sahut menyahut dan kemudian saling melengkapi satu sama lain adalah yang paling mereka tonjolkan disini. Formula vokal mereka telah mereka gunakan sejak awal dan tetap tidak berubah hingga sekarang. Dan bagi saya, itulah yang membuat Hinds patut diperhatikan. Dengan karakter vokal Anna yang lebih nge-bass dan Charlotta yang treble, dan aksen Inggris mereka yang manis dan lucu, menjadikan kesempurnaan musikalitas mereka menjadi lebih sempurna.”
Pak Arifin tersenyum dan duduk di atas meja sambil menyilangkan kedua tangannya.


“Inti dari apa yang kalian semua jelaskan adalah, bahwa album ini terasa sangat padu karena kontribusi setiap orang dibalik instrumennya. Inilah yang membuat sebuah band adalah band. Semuanya harus bekerja sama untuk dapat menciptakan sebuah album yang sempurna. Dan jangan lupakan juga permainan drum Amber sebagai penjaga tempo, yang mana dia berhasil menyempurnakan permainan ketiga personil lainnya. Overall, album ini telah sempurna bahkan jika mereka tidak mendapatkan eksposur yang luar biasa seperti sekarang ini. Bahkan jika mereka tetap menjadi band kecil di sebuah bar di Madrid sana, album ini akan tetap luar biasa. Dan saya memberi mereka rating 8.7/10 karena mereka patut mendapatkannya. Bagi saya ini adalah album garage rock yang patut untuk di perhatikan di tahun ini. Dan lebih dari itu, mereka adalah band yang memang patut di perhatikan di scena musik garage rock yang masih berkonotasi macho.”
Pak Arifin berjalan menuju kursi dan merapikan beberapa buku dan kertasnya. Jam sudah menunjukan bahwa kelas berakhir.
“Ya, sampai disini pertemuan kita hari ini. Kita lanjut minggu depan membahas album-album lainnya. Selamat siang.”
Pak Arifin meninggalkan kelas dan mahasiswa-mahasiswanya pun bergegas keluar.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe