Review: DIIV - Is The Is Are (2016)
12:40:00 PM
“Kami dari Kelompok 3 akan memaparkan tentang hasil
penelitian kami yang berjudul ‘Perubahan Sisi Musikalitas DIIV di Album Is
the Is Are’. Untuk pemapar pertama, saya persilahkan kepada saudara Jajang
untuk menjelaskan.” Ucap Sugeng sambil mempersilahkan Jajang untuk berdiri.
Jajang pun berdiri dan terlihat akan menjelaskan.
“Di awal, kita langsung disuguhi oleh aura ceria dari
lagu Out of Mind. Nada
gitar jangly-nya sedikit
mengingatkan kita pada Ride,
jika mereka berkolaborasi dengan Felt atau The
Wake. Dan lanjut lagu kedua, Under
the Sun, DIIV langsung menghentak dengan ritme drum
khas mereka sejak Oshin dengan nada yang agak muram.
Perbedaan yang paling mencolok terdapat di lagu Blue Boredom (Sky’s Song) yang pada departemen vokalnya diisi
oleh Sky Ferreira, kekasih dari Cole. Dengan gitar noisy sekaligus hazy dan
ketukan drum yang sedikit mengingatkan saya pada permainan drum band krautrock
ala Can atau Neu!,
Sky Ferreira bernyanyi , atau lebih tepatnya, berpuisi layaknya Patti Smith,”
Ujar Jajang sambil melipat kertas yang ia pegang. “Sekian penjelasan dari saya,
untuk selanjutnya akan diteruskan oleh saudara Caca.”
Jajang kembali duduk dan Caca yang duduk di sebelahnya
berdiri.
“Terimakasih untuk kawan Jajang. Selanjutnya saya akan
memaparkan hasil dari apa yang saya dengar beberapa lagu berikutnya.” Ujar Caca
sambil menyilangkan tangannya. “Yang paling menarik perhatian saya adalah lagu Take Your Time sebenarnya. Formulanya hampir mirip
dengan track Blue Boredom,
tetapi kali ini terdengar sedikit lebih lambat dan dari permainan gitarnya pun
lebih berisi.
Perbedaan juga terdapat pada lagu Mire (Grant’s Song). Dari
intro, kita sudah disuguhi raungan renyah gitar distorsi hingga muncul ketukan
drum yang benar kata kawan Jajang sedikit berbau krautrock. Saat lagu
benar-benar di mulai, kita mungkin akan bertanya apakah ini benar-benar album
dari DIIV atau bukan. Dan saya pun terhanyut
lewat perpaduan hentakan drum bertempo lambat dengan gitar bermandikan reverb
dan delay dalam lagu terakhir, Waste
of Breath. Vokal Cole yang dibalut dengan reverb sejak lagu pertama ini
terasa pas di lagu ini. Rasanya seperti Kurt Cobain sedang dalam LSD kemudian
bernyanyi bersama Slowdive.
Secara keseluruhan, bagi saya album ini memang berbeda
secara musikalitas dari album Oshin.
Dengan beberapa lagu yang kawan Jajang dan saya sebutkan, kita tak bisa
menemukan lagu seperti itu di album Oshin,
dan inilah yang menjadikan Is
the Is Are berbeda dengan Oshin. Mungkin yang membuat
perbedaan tersebut adalah penambahan personel baru pada kompartemen gitar.
Dengan tiga gitar, Is the Is
Are menyuguhkan kita
sound-sound yang brilian.”
Caca berhenti sejenak setelah berbicara tanpa jeda
sejak tadi. Dia melirik ke arah Sugeng yang telah siap-siap memaparkan
kesimpulan dari album ini.
“Sepertinya sekian dari saya. Untuk selanjutnya,
saudara Sugeng akan menyampaikan kesimpulan kami,” Ujar Caca sambil mundur
mendekati kursinya. “Terima kasih.”
Sugeng berdiri dan tanpa basa-basi langsung berbicara.
“Seperti apa yang kawan Jajang dan Caca tadi jelaskan,
album ini setiap lagunya memiliki karakter yang berbeda. Saya setuju. Meskipun
memang tidak semuanya berbeda, masih ada beberapa yang terdengar mirip satu
sama lain. Keberanian Cole untuk mencoba sesuatu yang baru patut diacungi
jempol. Dan lebih dari itu, mereka berhasil membawakan sesuatu yang baru
tersebut tetapi tetap dengan gaya khas dari DIIV.
Perpaduan tiga gitar jangly dan noisy yang memanjakan
telinga kita sejak intro hingga outro, ketukan drum krautrock yang tanpa ampun
terus mengentak dan juga jangan lupakan cabikan bass Ruben Perez yang dalam
kemisteriusannya berhasil menjadi pengawal semua lagu di album ini. Jika di era Oshin, Cole seperti seorang
pendengar musik dream pop yang mencoba untuk menjadi Kurt Cobain, di album ini,
dia adalah Cole yang mencoba untuk menjadi dirinya sendiri. Dan ia berhasil.
Juga, album ini adalah album yang jujur seperti yang
tercermin dari lirik-liriknya. Kebanyakan bercerita tentang pengalaman Cole
masuk rehabilitasi setelah kedapatan menggunakan narkoba saat sedang menyetir
bersama kekasihnya. Dan lebih dari apapun, album ini merupakan sebuah penebusan
dosa, pun pembuktian dari Cole setelah kasusnya tersebut. Seperti apa yang ia
katakan dalam sebuah wawancara, dia berkata bahwa dia harus menciptakan album
yang bagus agar orang-orang dapat lupa dengan kasusnya dan mulai membicarakan
tentang albumnya.
Secara keseluruhan, album ini lebih baik dari Oshin
meskipun tidak semuanya baru. Setiap lagu dan liriknya merupakan versi dewasa
dari lagu-lagu yang terdapat dalam Oshin.
Cole juga kali ini tidak egois, jika di Oshin ia mereka segala sesuatunya sendiri,
kali ini ia merekam semuanya bersama-sama. Jadi mungkin perbedaan yang terdapat
di album ini adalah karena sekarang semuanya berkontribusi untuk mengeluarkan
isi kepalanya. Dan untuk ratingnya, kami sepakat untuk memberikan 8.0/10 untuk album ini.
Sekian pemaparan dari kelompok kami. Terima kasih atas
perhatiannya,” Tutup sugeng sambil duduk kembali. Sugeng, Jajang dan Caca
kemudian kembali ke tempat duduknya masing-masing. Semua orang bertepuk tangan.
0 comments