Review: DIIV - Is The Is Are (2016)

12:40:00 PM


“Kami dari Kelompok 3 akan memaparkan tentang hasil penelitian kami yang berjudul ‘Perubahan Sisi Musikalitas DIIV di Album Is the Is Are. Untuk pemapar pertama, saya persilahkan kepada saudara Jajang untuk menjelaskan.” Ucap Sugeng sambil mempersilahkan Jajang untuk berdiri.
Jajang pun berdiri dan terlihat akan menjelaskan.
DIIV, sebagai yang kita semua ketahui, telah merilis album keduanya yang berjudul Is the Is Are pada bulan Januari lalu sebagai kelanjutan dari debut albumnya yang berjudul Oshin, dua tahun silam. Jelas ada perbedaan, meskipun dari apa yang kami pelajari, hanya sedikit terjadi peningkatan kualitas dari musik mereka,” jelas Jajang mengambil kertas catatan yang dia bawa. “Tetapi, kualitas musik mereka di album Oshin pun bagi kami sudah cukup baik. Kekurangannya hanya, hampir di semua lagunya terdengar mirip satu sama lain. Dan album baru ini, mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kali ini mereka berhasil menciptakan 17 lagu yang setiap lagunya memiliki karakternya masing-masing.”
Jajang menghela nafasnya barang sebentar.
“Di awal, kita langsung disuguhi oleh aura ceria dari lagu Out of Mind. Nada gitar jangly-nya sedikit mengingatkan kita pada Ride, jika mereka berkolaborasi dengan Felt atau The Wake. Dan lanjut lagu kedua, Under the Sun, DIIV langsung menghentak dengan ritme drum khas mereka sejak Oshin dengan nada yang agak muram.


Perbedaan yang paling mencolok terdapat di lagu Blue Boredom (Sky’s Song) yang pada departemen vokalnya diisi oleh Sky Ferreira, kekasih dari Cole. Dengan gitar noisy sekaligus hazy dan ketukan drum yang sedikit mengingatkan saya pada permainan drum band krautrock ala Can atau Neu!, Sky Ferreira bernyanyi , atau lebih tepatnya, berpuisi layaknya Patti Smith,” Ujar Jajang sambil melipat kertas yang ia pegang. “Sekian penjelasan dari saya, untuk selanjutnya akan diteruskan oleh saudara Caca.”
Jajang kembali duduk dan Caca yang duduk di sebelahnya berdiri.
“Terimakasih untuk kawan Jajang. Selanjutnya saya akan memaparkan hasil dari apa yang saya dengar beberapa lagu berikutnya.” Ujar Caca sambil menyilangkan tangannya. “Yang paling menarik perhatian saya adalah lagu Take Your Time sebenarnya. Formulanya hampir mirip dengan track Blue Boredom, tetapi kali ini terdengar sedikit lebih lambat dan dari permainan gitarnya pun lebih berisi.
Perbedaan juga terdapat pada lagu Mire (Grant’s Song). Dari intro, kita sudah disuguhi raungan renyah gitar distorsi hingga muncul ketukan drum yang benar kata kawan Jajang sedikit berbau krautrock. Saat lagu benar-benar di mulai, kita mungkin akan bertanya apakah ini benar-benar album dari DIIV atau bukan. Dan saya pun terhanyut lewat perpaduan hentakan drum bertempo lambat dengan gitar bermandikan reverb dan delay dalam lagu terakhir, Waste of Breath. Vokal Cole yang dibalut dengan reverb sejak lagu pertama ini terasa pas di lagu ini. Rasanya seperti Kurt Cobain sedang dalam LSD kemudian bernyanyi bersama Slowdive.
Secara keseluruhan, bagi saya album ini memang berbeda secara musikalitas dari album Oshin. Dengan beberapa lagu yang kawan Jajang dan saya sebutkan, kita tak bisa menemukan lagu seperti itu di album Oshin, dan inilah yang menjadikan Is the Is Are berbeda dengan Oshin. Mungkin yang membuat perbedaan tersebut adalah penambahan personel baru pada kompartemen gitar. Dengan tiga gitar, Is the Is Are menyuguhkan kita sound-sound yang brilian.”
Caca berhenti sejenak setelah berbicara tanpa jeda sejak tadi. Dia melirik ke arah Sugeng yang telah siap-siap memaparkan kesimpulan dari album ini.
“Sepertinya sekian dari saya. Untuk selanjutnya, saudara Sugeng akan menyampaikan kesimpulan kami,” Ujar Caca sambil mundur mendekati kursinya. “Terima kasih.”
Sugeng berdiri dan tanpa basa-basi langsung berbicara.
“Seperti apa yang kawan Jajang dan Caca tadi jelaskan, album ini setiap lagunya memiliki karakter yang berbeda. Saya setuju. Meskipun memang tidak semuanya berbeda, masih ada beberapa yang terdengar mirip satu sama lain. Keberanian Cole untuk mencoba sesuatu yang baru patut diacungi jempol. Dan lebih dari itu, mereka berhasil membawakan sesuatu yang baru tersebut tetapi tetap dengan gaya khas dari DIIV.
Perpaduan tiga gitar jangly dan noisy yang memanjakan telinga kita sejak intro hingga outro, ketukan drum krautrock yang tanpa ampun terus mengentak dan juga jangan lupakan cabikan bass Ruben Perez yang dalam kemisteriusannya berhasil menjadi pengawal semua lagu di album ini. Jika di era Oshin, Cole seperti seorang pendengar musik dream pop yang mencoba untuk menjadi Kurt Cobain, di album ini, dia adalah Cole yang mencoba untuk menjadi dirinya sendiri. Dan ia berhasil.
Juga, album ini adalah album yang jujur seperti yang tercermin dari lirik-liriknya. Kebanyakan bercerita tentang pengalaman Cole masuk rehabilitasi setelah kedapatan menggunakan narkoba saat sedang menyetir bersama kekasihnya. Dan lebih dari apapun, album ini merupakan sebuah penebusan dosa, pun pembuktian dari Cole setelah kasusnya tersebut. Seperti apa yang ia katakan dalam sebuah wawancara, dia berkata bahwa dia harus menciptakan album yang bagus agar orang-orang dapat lupa dengan kasusnya dan mulai membicarakan tentang albumnya.
Secara keseluruhan, album ini lebih baik dari Oshin meskipun tidak semuanya baru. Setiap lagu dan liriknya merupakan versi dewasa dari lagu-lagu yang terdapat dalam Oshin. Cole juga kali ini tidak egois, jika di Oshin ia mereka segala sesuatunya sendiri, kali ini ia merekam semuanya bersama-sama. Jadi mungkin perbedaan yang terdapat di album ini adalah karena sekarang semuanya berkontribusi untuk mengeluarkan isi kepalanya. Dan untuk ratingnya, kami sepakat untuk memberikan 8.0/10 untuk album ini.

Sekian pemaparan dari kelompok kami. Terima kasih atas perhatiannya,” Tutup sugeng sambil duduk kembali. Sugeng, Jajang dan Caca kemudian kembali ke tempat duduknya masing-masing. Semua orang bertepuk tangan.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe